Utama  

Bhayangkara FC Presisi dan Wajah Buram Kompetisi Kita

Oleh: Redaksi Independen Pos

Lampung kembali menjadi tuan rumah bagi klub yang bukan miliknya. Kali ini, giliran Bhayangkara FC Presisi, klub milik institusi kepolisian yang kembali mengganti identitas dan “bermukim” di daerah ini, lengkap dengan seremoni launching, baliho, dan jargon. Tapi satu hal yang absen dari seluruh kemeriahan itu adalah keterlibatan emosi rakyat Lampung sendiri. Tidak ada ikatan sejarah, tidak ada napas lokal, tidak ada keterlibatan komunitas. Yang hadir hanyalah klub yang membawa nama besar institusi, namun tak membawa serta semangat rakyat.

Fenomena ini bukan hal baru. Sebelumnya, Lampung pernah menerima Badak Lampung FC, klub pindahan dari Perseru Serui yang mencoba mencari kehidupan baru dengan modal nama daerah. Hasilnya? Klub itu mati suri.

Lalu beberapa klub lain pun menjadikan Lampung sebagai tempat pelarian, tempat latihan, tempat pindah-pindah kandang. Kini, giliran Bhayangkara FC Presisi mencicipi tanah subur ini, tapi apakah mereka benar-benar datang untuk membangun atau sekadar menempel nama dan mencari lokasi nyaman?

Banyak orang menganggap ini bukan persoalan besar. Toh klub itu sah, profesional, punya badan hukum, dan memenuhi syarat administratif. Tapi persoalan sepak bola bukan hanya administrasi. Ini soal rasa memiliki. Soal siapa yang berteriak di tribun, siapa yang menangis saat tim kalah, dan siapa yang mewariskan cerita dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bhayangkara FC Presisi tidak punya itu di Lampung. Mereka datang sebagai tamu, dan akan pergi ketika tidak lagi nyaman. Lampung, sekali lagi, hanya dijadikan rumah sewa.

Lebih dari itu, ada yang jauh lebih mengganggu: kehadiran Bhayangkara FC Presisi sebagai klub milik institusi kepolisian. Secara legal, mereka mungkin sudah berdiri di atas PT dan beroperasi seperti klub profesional. Tapi identitas mereka tetap melekat pada institusi negara. Dan ketika aparat penegak hukum memiliki klub yang ikut bersaing dalam kompetisi, akan selalu ada kekhawatiran soal netralitas, keadilan, dan integritas. Polisi seharusnya menjadi pengayom semua klub, bukan menjadi lawan tanding salah satu.

Lampung tidak kekurangan talenta. Ada begitu banyak pemain muda, pelatih, bahkan suporter fanatik yang siap membangun klub lokal dengan darah dan keringat mereka sendiri. Tapi berkali-kali, mereka harus mengalah pada kehadiran klub-klub instan, klub-klub yang datang dengan modal besar, tapi nol akar. Sepak bola Lampung layu bukan karena kurang potensi, tapi karena tidak diberi ruang tumbuh oleh sistem yang lebih suka membesarkan klub-klub pelarian.

Launching Bhayangkara FC Presisi di Lampung seharusnya menjadi alarm keras. Ini bukan kebanggaan, ini peringatan. Bahwa selama tanah ini terus dijadikan tempat pelarian, maka Lampung takkan pernah punya klub sejati. Kita hanya akan terus menyaksikan bendera baru dikibarkan, lagu baru diputar, dan wajah-wajah asing mengaku sebagai milik kita, padahal mereka tidak benar-benar tinggal.

Jika Bhayangkara FC Presisi sungguh ingin menjadi bagian dari Lampung, maka buktikan dengan keberpihakan nyata yaitu bangun akar rumput, libatkan komunitas lokal, berikan ruang bagi talenta daerah. Jika tidak, lebih baik jujur saja bahwa kalian hanya singgah.

 

Netralitas yang Terkikis dan Seruan Suporter yang Terabaikan

Keikutsertaan Bhayangkara FC Presisi dalam kompetisi sepak bola nasional bukan hanya soal olahraga, tapi juga soal etika publik. Dalam masyarakat yang masih belajar percaya pada institusi dan keadilan, langkah Polri untuk terus mendorong klub miliknya bersaing di level tertinggi justru menciptakan jarak, bahkan kecurigaan. Sepak bola bukan sekadar permainan 90 menit, ia adalah ruang sosial yang membentuk persepsi tentang keadilan, integritas, dan keberpihakan.

Ketika institusi yang seharusnya netral dan mengayomi justru turun ke lapangan sebagai pemain, publik sulit percaya bahwa semua akan berjalan seimbang. Apa yang terjadi ketika Bhayangkara bertanding dan keputusan wasit kontroversial menguntungkan mereka? Apa yang dipikirkan lawan ketika pengamanan pertandingan dipegang oleh personel institusi yang sama? Bahkan jika semuanya berjalan bersih, persepsi publik tetap tergores, dan dalam demokrasi, persepsi bisa lebih berbahaya dari kenyataan.

Lebih dari itu, suara-suara penolakan bukan hanya datang dari ruang analisis, tapi dari tribun stadion. Para suporter, elemen paling jujur dalam sepak bola sudah lama melontarkan keresahan mereka. Bukan karena mereka membenci institusi, tapi karena mereka mencintai sepak bola yang adil dan setara. Di media sosial, di stadion, bahkan di forum-forum diskusi sepak bola, suara itu terus muncul, “Polri seharusnya netral, bukan punya klub.” Mereka menyerukan agar Polri kembali ke perannya semula yaitu mengayomi semua klub, menjaga atmosfer kompetisi tetap sehat, dan tidak ikut bertarung di tengah lapangan.

Sayangnya, suara-suara itu sering kali dianggap angin lalu. Seolah-olah sepak bola cukup diatur dari atas tanpa harus mendengar denyut dari tribun. Padahal justru dari suporterlah legitimasi sebuah klub dibentuk. Tidak ada klub besar yang tumbuh tanpa cinta dari bawah. Dan Bhayangkara FC Presisi, dengan segala fasilitas, jabatan, dan privilese yang dimiliki tidak bisa membeli rasa memiliki dari rakyat yang tidak diajak bicara sejak awal.

Launching Bhayangkara FC Presisi di Lampung hanya memperpanjang ironi itu. Sebuah institusi yang seharusnya netral membangun markas tanding di tanah yang bukan miliknya, untuk sebuah kompetisi yang ia jaga sekaligus ia ikuti. Maka pertanyaan yang wajar diajukan hari ini adalah Apakah kita sedang menyaksikan sepak bola profesional, atau kita sedang melihat panggung raksasa yang penuh dengan konflik kepentingan yang dibungkus rapi?

Suporter bukan sekadar penonton. Mereka adalah penjaga integritas sepak bola. Dan ketika mereka bersuara entah lewat poster, teriakan, atau boikot stadion, itu bukan karena mereka melawan hukum. Tapi karena mereka sedang membela esensi dari permainan yang mereka cintai.

Polri masih punya pilihan. Terus bertahan di lapangan sebagai pemain yang diragukan netralitasnya, atau kembali menjadi pengayom seluruh pertandingan. Jika pilihan jatuh pada yang pertama, jangan heran jika tribun terus kosong dan rasa percaya publik semakin hilang. Sebab dalam sepak bola, yang terpenting bukan hanya siapa yang menang, tapi siapa yang dipercaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *